Jumat, Februari 27, 2009

FUI Serukan Partai Islam Kampanye Syariat Islam

Thursday, 26 February 2009

Sekjen Forum Umat Islam (FUI), Muhammad Al Khaththath yang hadir dalam acara Sosialisasi Pemilu oleh Ketua KPU kepada para tokoh agama di Jakarta (26/2) menyampaikan bahwa berdasarkan Fatwa MUI umat Islam WAJIB memilih calon pemimpin/wakil rakyat yang beriman, bertaqwa, shiddiq, amanah, tabligh, fathonah, dan memperjuangkan kepentingan umat Islam.

Sebaliknya, HARAM memilih calon pemimpin/wakil rakyat yang tidak beriman, tidak bertaqwa, tidak shiddiq, tidak amanah, tidak tabligh, tidak fathonah, dan tidak memperjuangkan kepentingan umat Islam.

Selesai acara itu, pria yang juga Ketua Umum Hizb Dakwah Islam (HDI) itu menegaskan bahwa dalam pemilu 2009 ini FUI mendorong partai-partai Islam dan berbasis massa Islam serta caleg-caleg muslim untuk menyesuaikan diri dengan fatwa MUI. Yakni, menyampaikan program-program kampanye syariah, seperti bubarkan Ahmadiyah, legislasi syariat Islam, dan mengamandemen UU yang tidak sesuai dengan syariah misalnya UU Sumber Daya Air, UU Migas, UU Penanaman Modal.

Bahkan FUI siap mendukung Partai-partai Islam berkoalisi sejak kampanye dengan melakukan kampanye bersama mengusung syariah sehingga dengan kampanye bersama itu Partai-partai Islam bisa meraup suara besar, syukur-syukur bisa lebih dari 50% atau paling tidak masing-masing lolos dalam parlemen treshold (2,5%).

Ketika ditanya apa hal itu memungkinkan? Khaththath menjawab, ”Kenapa tidak? Koalisi itu dilakukan atas dasar ta’aawun alal birri wat taqwa (tolong menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan) sambil mengutip suatu ayat al Quran”. Semoga seruan FUI ini jadi kenyataan! (lim/mj/www.suara-islam.com).

Wahiduddin (DPP HTI) :HTI Tolak Golput

Thursday, 26 February 2009

Adanya rumor santer selama ini yang mengatakan bahwa para pemimpin Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menganjurkan massanya untuk tidak memilih dalam pemilu 2009 alias golput ternyata tidak benar. Rumor tersebut dibantah salah seorang petinggi DPP-HTI, M. Wahiduddin.

Kepada Suara Islam On line yang menemuinya seusai dialog antara pimpinan Komisi Peilihan Umum (KPU) dengan para tokoh Agama di Hotel Nikko, Jakarta (26/2), Wahid menegaskan HTI tidak pernah menganjurkan massanya untuk menjadi golput, tetapi justru menganjurkan untuk memilih dalam pemilu nanti.

“HTI tidak pernah menganjurkan golput. HTI membebaskan massa dan simpatisannya untuk memilih partai manapun sesuai dengan aspirasi politiknya. HTI tidak pernah menginstruksikan anggotanya untuk memilih partai tertentu alias netral dalam pemilu,” ujar Wahid.

Keberadaan organisasi Islam internasional yang dikenal anti demokrasi alias anti parlemen ini memang selalu dicurigai sebagai biang golput. Namun kehadiran Wahidudin sebagai wakil DPP-HTI dalam sosialisasi untuk mensukseskan pemilu itu kiranya menghilangkan kecurigaan tersebut. Ini nampak dari pernyataan Anggota KPU Endang Sulastri yang mengawali sosialisasi itu sebelum Ketua KPU yang antara lain menyebut bahwa salah satu alasan golput adalah demokrasi tidak sesuai dengan ajaran agama.

Sosialisasi Pemilu kepada para tokoh agama yang pertama kali dilakukan oleh KPU itu dipimpin langsung oleh Ketua KPU Abdul Hafizh Anshari dan dihadiri oleh para tokoh antara lain Aisyah Amini (MUI), Muhammad Al Khaththath Sekjen Forum Umat Islam (FUI), Ramlan Marjoned (DDII), Agusdin (KISDI), Abdus Somad Ngile (Al Irsyad), Fikri Bareno (Al Ittihadiyah), dan Masdar Mas’udi dari PBNU. Juga hadir tokoh-tokoh agama dari PGI, Matakin, dan lain-lain. (lim/mj/www.suara-islam.com)

Jumat, Februari 20, 2009

KH. Ma'ruf Amin: "Kembalikan Kepercayaan Umat Pada Parpol Islam"

Thursday, 19 February 2009

Menghadapi pemilu 2009, mayoritas umat Islam kelihatan apatis terhadap partai Islam. Banyak faktor yang menyebakan hal tersebut. Di antaranya faktor internal partai Islam. Fenomena partai Islam yang justru bergerak meninggalkan Islam menuju ke arah moderat bahkan sekuler adalah salah satunya. Seharusnya parpol Islam menjadikan Islam sebagai dasar, sumber inspirasi dan landasan berfikir partainya.

Demikian dikatakan oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH. Ma’ruf Amin dalam acara Forum Kajian Sosial Kemasyarakatan (FKSK) Ke-45 di Jakarta, Rabu (18/2). Menurut Kiyai Ma’ruf, saat ini umat Islam sudah harus mengembalikan kepercayaan kepada parpol Islam. Ini harus dilakukan agar parpol Islam dapat memenangkan pemilu. Pasalnya, mayoritas penduduk indonesia adalah umat Islam.

Caranya, parpol Islam harus kembali memperjuangkan Islam. Sebab berbagai problem bangsa seperti ekonomi yang kapitalistik dan politik sekuler hanya bisa diselesaikan dengan solusi Islam.

Meski demikian, Ketua Dewan Musytasar PKNU tersebut juga menyadari bahwa parpol Islam juga mengalami hambatan dan tantangan yang besar. ”Ada partai Islam yang lari. Ini bukan mengubah, tapi terubah”, cetusnya ketika menanggapi adanya parpol Islam yang makin moderat.

Selain itu juga masih melakatnya persepsi-persepsi yang salah di tengah masyarakat tentang Islam dan politik. ”Orde Baru telah menciptakan persepsi di masyarakat bahwa politik tidak ada hubungannya dengan agama. Islam yes, parpol Islam no, bahkan parpol Islam dihapus. Kiyai jangan ikut-ikutan politik. Isu politisasi agama. Agama bukan alat politik. Ini adalah persepsi-persepsi keliru di masyarakat”, papar Kiyai Ma’ruf. Persepsi inilah yang harus dihilangkan. Karena itu, ”Parpol Islam harus membangun soliditas” lanjutnya. (shodiq ramadhan/mj/www.suara-islam.com)

Kamis, Februari 19, 2009

Laporan Forum Kajian Sosial Kemasyarakatan (FKSK) ke-45

Wednesday, 18 February 2009

Pasca di keluarkannya fatwa MUI tentang wajibnya memilih pemimpin dan kesimpang siuran fatwa tersebut di tengah-tengah masyarakat sehingga menjadi fatwa golput, Forum Kajian Sosial Kemasyarakatan (FKSK) ke-45 menyelenggarakan diskusi publik dengan tajuk “Fatwa Golput dan Peluang Partai Islam” bertempat di Gedung Intiland Tower, Jakarta (18/2).

Acara tersebut diselenggarakan oleh Forum Umat Islam (FUI) bekerjasama dengan Hizb Dakwah Islam (HDI), RasFM 95,5 Jakarta, Majelis Taklim Wisma Darmala Sakti, dan Toko Buku Khilafah Center. Serta disiarkan langsung oleh radio RasFM 95,5 FM.

Hadir sebagai pembicara antara lain, KH. Ma’ruf Amien (Ketua MUI Pusat), H. Ahmad Sumargono (Ketua DPW PBB DKI Jakarta), Lukman Hakim Saefudin (Ketua Fraksi PPP DPR), Hanibal Wijayanta (Wartawan Senior).

Kesimpulan dari acara tersebut adalah bahwa fatwa yang di keluarkan oleh MUI jangan disalah pahami, justru harus dijadikan momen untuk konsolidasi partai-partai islam juga tetap menjaga soliditas umat untuk senantiasa memperjuangkan syari’at islam di indonesia. (mj/www.suara-islam.com)

Ahmad Sumargono: Pemilu 2009, PBB Tetap Usung syari'at Islam PDF

Wednesday, 18 February 2009

“Pemilu 2009 Partai Bulan Bintang (PBB) tetap akan mengusung agenda penerapan sya’riat islam” ungkap Ahmad Sumargono ketua DPW PBB DKI Jakarta ini saat ditemui oleh wartawan pasca acara Forum Kajian Sosial Kemasyarakatan (FKSK) ke-45 di Gedung Intiland Tower, Jakarta(18/2).

Menurutnya PBB sudah siap menerima segala resiko perjuangan jika syariat islam yang diusung dianggap tidak menjual pada pemilu 2009. Beliau juga menyayangkan ada oknum dari partai islam yang menyatakan bahwa syari’at islam sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman.

Syari’at islam justru seharusnya menjadi inspirasi dalam setiap pengambilan kebijakan, pengambilan keputusan dan sangat mungkin dapat menyelesaikan masalah keumatan dan kebangsaan yang sedang dialami oleh bangsa Indonesia, tegasnya.

PBB juga akan tetap istiqomah dalam menjaga khitah perjuangannya sebagai partai kanan yang berbasis islam. (mj/www.suara-islam.com)

Sayyid Hasan Nasrullah: Tak Mungkin Berdamai Dengan Israel

Monday, 16 February 2009
Sekjen Gerakan Perlawanan Islam Lebanon (Hizbullah), Sayyid Hasan Nasrullah menekankan, segala bentuk perdamaian Arab dengan Rezim Zionis Israel malah membuat rezim ini kian berani menekan umat Islam.

Sayyid Hasan kemarin (Senin 16/2) bertepatan dengan peringatan hari syuhada pejuang Hizbullah mengatakan, pengalaman masa lalu membuktikan bahwa pasca perjanjian damai dengan Israel, rezim ini malah meningkatkan aksi brutalnya terhadap umat Islam. Ditambahkannya, berdamai dengan Israel artinya kita memberikan kewenangan kepada Tel Aviv dengan imbalan rezim ini bersedia mengembalikan sedikit tanah kita yang mereka caplok.

Sekjen Hizbullah menekankan, muqamawa Lebanon berhak memiliki senjata termasuk anti-udara untuk menghadapi serangan musuh. Dalam bagian lain pidatonya, Sayyid Hasan menyatakan, "Kita tidak membutuhkan penjelasan lebih terhadap tekad kita sebelumnya untuk menuntut balas darah syahid Imad Mugniyah". Menyinggung kian dekatnya pemilu di Lebanon, Sayyid Hasan menghimbau segenap kubu untuk andil karena pemilu ini sangat menentukan masa depan Lebanon. (mj/ir/www.suara-islam.com)

Sabtu, Februari 14, 2009

SOSIALISASI FATWA GOLPUT

Thursday, 12 February 2009

Sebagaimana kita ikuti dalam berbagai berita dan talkshow di media massa, telah terjadi wacana dan perdebatan atas fatwa MUI tentang tidak memilih di dalam Pemilu alias Golput. Satu hal yang perlu kita cermati dalam berbagai wacana dan perdebatan tersebut adalah adanya pembiasan informasi atau mungkin kesalahan komunikasi sehingga umumnya publik menangkap bahwa seolah-olah MUI mengeluarkan fatwa Golput Haram secara mutlak.

Padahal, isi fatwa tersebut tidaklah demikian. Oleh karena itu, perlu sosialisasi fatwa MUI tersebut secara langsung oleh para ulama dan para muballigh dan siapa saja yang masih ingin berpegang teguh kepada agama Allah dalam menjalani kehidupannya.

Pertama, poin empat dari fatwa tersebut berbunyi: Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangan kepentingan umat Islam, hukumnya adalah wajib.

Poin ini justru tidak terekspos dengan baik di media massa sehingga tidak menjadi opini umum yang ditangkap oleh publik. Padahal poin inilah yang justru diperlukan umat sebagai petunjuk untuk memilih calon presiden (calon Imam/kepala negara) dan calon wakil rakyat.

Artinya, menurut fatwa MUI tersebut, umat Islam dalam pemilu nanti wajib memilih calon Imam dan wakil rakyat yang memiliki karakteristik: beriman dan bertaqwa, jujur, terpercaya, aktif dan aspiratif, mempunyai kemampuan, dan memperjuangkan kepentingan umat Islam.

Dalam pandangan syariat Islam, melaksanakan hukum wajib berarti pelakunya dipuji dan diberi ganjaran pahala oleh Allah SWT. Sebaliknya, yang tidak melaksanakan kewajiban itu tercela, berdosa, dan akan mendapatkan balasan siksa Allah SWT. Na’udzubillahi mindzalik!

Oleh karena itu, poin mewajibkan umat Islam memilih calon Imam dan wakil rakyat dengan kriteria di atas itu tidaklah main-main. Tentu harus dengan dasar yang kuat. Dalam fatwa MUI tersebut disebutkan antara lain dasar penetapan fatwanya dengan firman Allah SWT:

”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. An Nisa 59).

Perintah Allah SWT mewajibkan kita taat kepada Ulil Amri dalam ayat di atas mengandung pengertian kewajiban untuk mengangkat ulil amri yang wajib ditaati itu. Sebab, kalau mengangkat ulil amri tidak wajib, maka keberadaan ulil amri itu tidak wajib pula. Dan bila ulil amri itu tidak wajib adanya, artinya bila boleh saja umat Islam tidak punya ulil amri, maka perintah Allah yang mewajibkan taat kepada ulil amri menjadi tidak bisa diamalkan. Ini tentu tidak bisa dibenarkan.

Oleh karena itu, dipastikan bahwa umat Islam wajib memilih atau mengangkat ulil amri yang bertugas dan bertanggung jawab mengurus urusan kaum muslimin. Dan ulil amri yang diangkat kaum muslimin itu wajib menerapkan hukum syariah dengan standar kebenaran Al Quran dan Sunnah Rasulullah saw. sehingga bilamana dalam pelaksanaan hukum Allah SWT dalam pemerintahannya ada perselisihan antara ulil amri dengan rakyat, maka diselesaikan di depan mahkamah yang akan mengatasi persoalan dengan merujuk kepada petunjuk Allah dan Rasul-Nya yang ada dalam Al Quran dan Sunnah.

Ulil Amri yang wajib dipilih dan diangkat oleh kaum muslimin adalah ulil Amri yang beriman dan bertqwa, yakni yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dalam pemerintahannya. Oleh karena itu, tepat sekali Ijtima Ulama MUI di Padang Panjang mencantumkan -sebagai dasar penetapan fatwa- pernyataan Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar pada saat pengangkatan mereka sebagai Khalifah yang berkuasa atas kaum muslimin.

Khalifah Abu Bakar r.a. berkata: “Wahai sekalian manusia, jika aku dalam kebaikan maka bantulah aku, dan jika aku buruk maka ingatkanlah aku... taatilah aku selagi aku menyuruh kalian taat kepada Allah, dan jika memerintahkan kemaksiatan maka jangan taati aku”. Pidato Khalifah Umar r.a.:“Barangsiapa diantara kalian melihat aku dalam ketidaklurusan, maka luruskanlah aku…”.

Kedua, butir lima dari fatwa MUI tersebut adalah: Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 4 (empat) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat, hukumnya adalah haram.

Butir ini juga tidak terkomunikasi dengan baik melalui media massa. Seolah-olah di media massa diopinikan bahwa tidak memilih alias golput secara mutlak adalah haram. Padahal yang diharamkan dalam butir ini adalah bila tidak memilih sama sekali alias golput padahal ada calon yang memenuhi syarat-syarat nomor empat yang sudah diterangkan di atas. Lebih dari itu, justru yang diharamkan bagi setiap muslim adalah memilih calon Imam dan wakil rakyat yang tidak memenuhi kriteria dalam poin empat di atas.

Jadi dalam pemilu legislatif maupun pilpres nanti setiap muslim yang dirinya masih punya iman dan hatinya terikat dengan ajaran agama Islam yang dianutnya HARUS HATI-HATI JANGAN SAMPAI MEMILIH CAPRES DAN CALEG yang tidak beriman, tidak bertakwa, tidak jujur (siddiq), tidak terpercaya (amanah), tidak aktif dan tidak aspiratif (tabligh), tidak mempunyai kemampuan (fathonah), dan tidak memperjuangan kepentingan umat Islam.

Kiranya tepat sekali dasar penetapan poin ini merujuk kepada hadits Nabi saw:

“Dari Abdullah bin Amr bin ‘Auf al-Muzani, dari ayahnya, dari kakeknya, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda:“Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram”. (HR At-Tirmidzi).

Artinya, umat Islam harus waspada terhadap caleg-caleg maupun capres-capres yang disinyalir akan melahirkan undang-undang dan peraturan-peraturan yang mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah SWT dan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah SWT. Yakni, caleg-caleg sekuler yang abai bahkan menentang diformalisasikannya syariat Allah SWT sebagai konstitusi, undang-undang, dan hukum yang berlaku di negeri ini.

Dengan demikian tegaslah bahwa Fatwa MUI tentang memilih dalam Pemilu itu adalah : (1) WAJIB BAGI SETIAP MUSLIM MEMILIH CAPRES DAN CALEG YANG: beriman dan bertaqwa, jujur, terpercaya, aktif dan aspiratif, mempunyai kemampuan, dan memperjuangkan kepentingan umat Islam. (2) HARAM BAGI SETIAP MUSLIM MEMILIH CAPRES DAN CALEG YANG: tidak beriman, tidak bertakwa, tidak jujur (siddiq), tidak terpercaya (amanah), tidak aktif dan tidak aspiratif (tabligh), tidak mempunyai kemampuan (fathonah), dan tidak memperjuangan kepentingan umat Islam.

Fatwa tersebut selain mengikat umat Islam dalam memilih, juga mengikat para capres dan caleg muslim agar menyesuaikan dirinya dengan kriteria tersebut bila ingin dipilih oleh oleh umat Islam.

Terakhir, kami memberikan peringatan kepada kaum muslimin dan diri kami sendiri, dalam urusan memilih dan mengangkat pemimpin ini, janganlah kita termasuk orang yang berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin lantaran salah pilih atau memilih secara asal-asalan, atau memilih karena dorongan hawa nafsu dan tergoda bujuk rayu dengan sedikit urusan dunia. Renungkanlah sabda baginda Rasulullah saw.:

“Barangsiapa memilih seorang pemimpin padahal ia tahu ada orang lain yang lebih pantas untuk dijadikan pemimpin dan lebih faham terhadap kitab Allah dan sunnah RasulNya, maka ia telah menghianati Allah, RasulNya, dan semua orang beriman”. (HR. At-Thabrani). (mj/www.suara-islam.com)

Senin, Februari 09, 2009

KH. Cholil Ridwan : Istisyhâd Bukan Bunuh Diri


Thursday, 05 February 2009
Pengasuh: KH. A. Cholil Ridwan, Lc (Ketua MUI Pusat)

Assalamu’alaikum wr wb Menghadapi agresi Israel sejak 27 Desember lalu hingga kini, wakil ketua biro politik Hamas Musa Abu Marzuq menyatakan aksi bom bunuh diri menjadi bagian dari perlawanan muslim Palestina (Koran Tempo, 2/1/09). Bukankah bunuh diri dilarang agama Islam, Pak Kiyai? Tolong jelaskan. Terima kasih.

Wassalamu’alaikum wr wb

Nanang, Padang HP. 0813637xxxxx

Waalaikum salam wr wb Sdr Nanang, aksi yang dilakukan anggota ninja yang tertawan musuh dengan menelan pil racun atau menggigit lidahnya sendiri sampai mati, disepakati para fuqaha sebagai bentuk bunuh diri (intihâr). Tindakan ini haram hukumnya dilakukan seorang muslim, sebagaimana wasiat Nabi Saw:

‘’Pernah ada kasus menimpa orang sebelum kalian; ada seseorang yang terluka, lalu mengambil sebilah pisau, kemudian dia gunakan untuk melukai tubuhnya hingga darahnya pun tidak mau berhenti, sampai akhirnya dia pun mati. Allah berfirman: Hamba-Ku telah bergegas menemui-Ku karena ulahnya, maka Aku pun mengharamkan surga untuknya’’ (HR Bukhari).

Beda halnya dengan pejuang Palestina yang mengenakan rompi penuh bom lalu meledakkan diri di tengah kerumunan tentara Israel. Aksi ini disebut istisyhâd. Yaitu aksi menghadapi musuh dengan ‘’mempertaruhkan’’ diri hingga terbunuh.

Istisyhâd dibenarkan, dengan catatan sasarannya bukan kaum Muslim, atau tempat berkumpulnya kebanyakan orang Muslim seperti pasar, masjid, dan sebagainya, meskipun di situ ada musuh. Sebab, meninggalnya satu nyawa seorang Muslim masih lebih ringan bagi Allah ketimbang hilangnya seluruh dunia. Demikian wasiat Nabi saw.

Selain itu, istisyhâd tidak boleh menargetkan ahli dzimmah (Yahudi, Nasrani, atau orang musyrik yang hidup dalam naungan Negara Islam). Nabi Saw berpesan: ‘’Siapa saja yang menganiaya ahli dzimmah, maka sungguh akulah yang akan menjadi penuntutnya.

’’ Bahkan meskipun ‘’tidak rasional’’ menurut kalkulasi militer, istisyhâd tetap dinilai sebagai jihad. Al-Qurthubi (al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, II/364) mengutip Muhammad al-Hasan yang berkata, “Kalaupun ada seorang (mujahid) berperang menghadapi 1000 musuh kaum musyrik, sementara dia seorang diri, itu tidak masalah jika memang dia berambisi untuk meraih kemenangan atau menjadi tekanan bagi pihak musuh.

” Beliau melanjutkan, “Jika aksi itu ada manfaatnya bagi kaum Muslim, lalu dirinya binasa demi kemuliaan agama Allah, serta menjatuhkan mental kaum kafir, maka hal itu merupakan kedudukan yang mulia.

” Dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhari disebutkan, dalam sebuah pasukan Islam yang menyerbu musuh terdapat pemuda Ghulam. Ia begitu piawai berperang, sehingga musuh-musuhnya kesulitan membunuhnya meskipun banyak peluang buat mereka. Si pemuda kemudian menunjukkan pada musuh, bagaimana cara efektif untuk membunuh dirinya.

Benar saja, ketika mendapat kesempatan untuk itu, musuh akhirnya berhasil menewaskan pemuda itu. Dia syahid, dan pengorbanannya membuat musuh yang terkesima berbondong-bondong masuk Islam dengan mengatakan, “Kami beriman kepada Rabb (Tuhan)-nya pemuda ini.”

Di zaman Rasulullah, ada kisah kepahlawanan Anas bin Nadhar dalam peristiwa Perang Uhud. Saat itu Anas mengamuk sendirian melabrak musuh, setelah mendengar kabar burung bahwa Rasulullah wafat. Anas gugur, dengan jasad penuh luka sehingga sulit dikenali kecuali oleh sudara perempuannya. Kepahlawanan beliau ini diukir dalam al-Quran:

Di antara orang-orang Mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Lalu di antara mereka ada yang gugur dan ada (pula) di antara mereka yang menunggu-nunggu.” (QS al-Ahzab [33]: 23).

Dalam Perang Yamamah, Bara bin Malik diusung kawan-kawannya ke atas tameng yang disangga dengan ujung-ujung tombak. Lalu tubuhnya dilemparkan hingga meloncati benteng musuh. Di dalam benteng dia dibantai lawan, namun sebelum itu aksinya mampu menjebol pintu gerbang benteng. Tidak seorangpun sahabat menyalahkan keenkadan Bara bin Malik. Kisah ini dimuat dalam Sunan Al-Baihaqi, As-Sayru Bab At-Tabarru’ Bit-Ta’rudhi Lilqatli (9/44), tafsir Al-Qurthubi (2/364), Asaddul Ghaabah (1/206), dan Tarikh Thabari.

Hal serupa dilakukan Salamah bin Al-’Akwa, Al-Ahram Al-Asadi, dan Abu Qatadah ketika menghadapi pasukan Uyainah bin Hishn. Keberanian mereka menerobos musuh membuat pasukan Islam akhirnya memenangi pertempuran. Mereka syahid. Rasulullah memuji mereka dengan mengatakan, “Pasukan infantri terbaik hari ini adalah Salamah” (HR Bukhari-Muslim).

Mengomentari kisah ini, Ibnu Nuhas berkata: ‘’Dalam hadits ini telah teguh tentang bolehnya seorang diri berjibaku ke arah pasukan tempur dengan bilangan yang besar, sekalipun dia memiliki keyakinan kuat bahwa dirinya akan terbunuh.Tidak mengapa dilakukan jikan dia ikhlas melakukannya demi memperoleh kesyahidan sebagaimana dilakukan oleh Salamah bin Al-’Akwa, dan Al-Akhram Al-Asaddi. Nabi Saw tidak mencela, Sahabat ra tidak pula menyalahkan operasi tersebut. Bahkan di dalam hadits tersebut menunjukkan bahwa operasi seperti itu adalah disukai, juga merupakan keutamaan’’ (Masyari’ul Asywaq 1/540).

Masih banyak sahabat yang mengorbankan diri serupa itu, misalnya Hisyam bin Amar Al-Anshari, Abu Hadrad Al-Aslami dan dua rekannya, Abdullah bin Hanzhalah Al-Ghusail, dan lain-lain.

Aksi syahid, sebenarnya juga sudah biasa dilakukan rakyat Indonesia dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah. Di Surabaya, anak buah Bung Tomo juga gagah berani memanjat gedung hotel untuk memerosotkan bendera Belanda dan menggantikannya dengan Merah Putih. Padahal, saat itu konvoi pasukan udara Sekutu meraung-raung di langit Surabaya dan mengebomi warga setempat.

Sedangkan rakyat Aceh sangat menghayati Hikayat Perang Sabil, yang berisi ajakan dan anjuran berperang melawan pasukan penjajah kaphe (kafir). (mj/www.suara-islam.com)

Erma Pawitasari, M. Ed : KURIKULUM NASIONAL vs KURIKULUM AS

Thursday, 05 February 2009

Diasuh oleh: Erma Pawitasari, M. Ed

Assalamu’alaikum wr wb,
Saya senang sekali membaca Suara Islam yang menampilkan profil Bu Erma karena saya menemukan muslimah yang jarang ada padahal kehadirannya sangat diperlukan umat Islam.

Jika berkenan, saya ingin tahu pendekatan seperti apa yang Ibu gunakan dalam mendidik siswa-siswi Ibu di sekolah.

Saya juga penasaran tentang pendidikan yang Ibu ambil di Boston. Setelah Ibu menyelesaikan kuliah di sana, kemudian mengajar di sini (tanah air), apa kira-kira pendapat ibu mengenai kurikulum pendidikan di tanah air kita ini?

Saya juga sering berpikir soal kurikulum yang sebagiannya tidak jelas targetnya, diulang-ulang di setiap jenjang pendidikan dan tidak tepat sasaran untuk anak-anak.

Semoga Allah senantiasa membantu Bu Erma menjalankan aktivitas sehari-hari dan memajukan pendidikan di Indonesia. Amien.

Wassalamu’alaikum wr wb,
Rina, Depok

Wa’alaykum salam warahmatullahi wabarakaatuh,

Terima kasih atas doa Bu Rina. Saya juga senang berkenalan dengan Bu Rina.

Menjawab pertanyaan Ibu yang pertama, saya menggunakan pendekatan personal. Salah satu cara saya adalah berkomunikasi via jurnal. Di setiap pertemuan, anak-anak menyerahkan jurnal berisi apapun yang ingin mereka ceritakan. Beberapa manfaatnya:saya bisa menyelami kebutuhan dan perasaan mereka, mereka memiliki tempat curhat, mereka bisa mengasah Bahasa Inggrisnya dan berlatih mengeluarkan pikiran melalui tulisan.

Memang pelaksanaannya cukup berat ya, Bu, karena saya harus membaca dan menulis balik kepada mereka tetapi alhamdulillah hasilnya cukup baik. Murid-murid saya meminta nasehat tentang keluarganya, pacarnya, teman-temannya dan saya jawab berdasarkan Islam. Respon mereka cukup positif; mereka makin terbuka dan perilakunya pun membaik.

Mengenai kurikulum sekolah, ada beberapa perbedaan antara AS dengan Indonesia. Saya sempat mengajar di AS mulai tingkat SD hingga SMA, mulai guru pendamping hingga guru kelas. Salah satu perbedaan yang saya amati terletak pada jumlah pelajaran. Untuk tingkat SD, penekanan diberikan kepada matematika dan bahasa Inggris. Porsi sains dan ilmu sosial cukup sedikit. Tidak ada pelajaran moral. Wow, tentu buruk ya jika anak-anak tidak belajar moral.

Percaya atau tidak, dalam batasan moral yang umum, anak-anak Amerika bisa dibilang lebih beradab. Mereka tidak sembarangan dalam meludah, membuang sampah, maupun kencing. Ketika kami baru pulang ke Indonesia, anak saya shok berat melihat orang-orang Indonesia seenaknya buang sampah, meludah, dan kencing di pinggir jalan.

Nah, kok bisa ya sementara tidak ada pelajaran moral? Jawabannya sederhana sekali. Buku bahasanya sangat bermutu dan ideologis. Di dalamnya, siswa belajar tentang ilmu sosial, sains, moral, sejarah, tata kota, tata negara, bahkan tata dunia. Semuanya disajikan berdasarkan nilai ideologi mereka. Penekanannya bukan “spelling” atau “grammar” tetapi pembentukan pola pikir.

Kalau saya bandingkan dengan isi buku bahasa kita, waduh… saya prihatin sekali! Miskin ilmu dan miskin karakter. Bacaannya sebatas “Ibu Budi pergi ke pasar.” Bagus kalau kemudian bercerita tentang pasar tertentu, letaknya, sejarahnya, kehidupan para pedagangnya yang berjuang untuk hidup secara Islam di tengah himpitan ekonomi. Dengan begitu, di samping belajar berbahasa, anak-anak kita juga mulai terbentuk pola pikir Islami. Tetapi ini kan tidak. Buku malah membahas suara kucing meong-meong, suara anjing guk-guk-guk, prang bunyi gelas pecah (padahal kalau jatuhnya di karpet mungkin “duk” lebih tepat ya).

Padahal informasi ini bisa diberikan dalam bentuk cerita berhikmah Islam. Misalnya cerita tentang Ihsan yang tetangganya memelihara anjing. Bagaimana Ihsan harus bersikap sebagai muslim, bagaimana dia mencuci diri ketika terjilat anjing tetangga. Konfliknya tentu bisa dibuat lebih seru seperti Ihsan menuduh anjing tersebut telah mencuri sepatunya, dsb. Jadi, di samping belajar bahasa yang mengasyikkan, anak-anak juga belajar nilai-nilai Islam. Tidak heran kan kalau ada yang mengatakan bahwa orang Amerika itu lebih islami (tentu dalam konteks perilaku tertentu). Mereka belajar moral setiap hari (dalam pelajaran Bahasa), sedang kita?

Akibat pembatasan ilmu yang terlalu banyak dalam kurikulum Indonesia, maka muatan masing-masing pelajaran menjadi terbatas. Walhasil, terjadilah apa yang Bu Rina sebutkan sebagai “materinya diulang-ulang.” Berhubung tempatnya terbatas, saya harus berhenti di sini dulu, ya Bu. Semoga bisa kita gali lebih lanjut dalam diskusi-diskusi berikutnya. (mj/www.suara-islam.com)